Pengertian SENI
Asal Kata “SENI”
Artikelsenibudaya.blogspot.com - Seni berasal dari bahasa melayu yang mempunyai arti “halus”, “kecil”, “lembut”. Kata “Seni” yang kita pakai sekarang sebagai terjemahan dari “art”(Inggris) baru muncul pada tanggal 10 April 1935 dalam majalah kebudayaan Pujangga Baru yang terbit tahun 1933. Jadi, kata “seni” berasal dari konsep Barat. Dalam sejarah kebudayaan Barat sendiri, pengertian seni berubah-ubah sesuai dengan zamannya.
Pengertian seni pada dari zaman Yunani berbeda dengan pengertian seni dalam Abad Pertengahan. Berbeda pula dengan zaman awal modern Barat, yakni Renaissance. Berbeda dengan zaman Rasionalisme abad 17-18, dan berbeda dengan zaman Romantik abad IXX. Di Abad XX, kebudayaan Barat mengevaluasi kembali semua pengertian seni dalam sejarahnya.
Masyarakat modern Indonesia mengadopsi pengertian “seni” dari Barat. Karena pemahaman tentang seni di Barat sendiri juga mengalami perkembangan dalam sejarahnya, maka masyarakat modern Indonesia tidak mempunyai keseragaman dalam pemahaman seni Baratnya. Pada zaman Pujngga Baru tahun 1930-an misalnya, konsep seni sastra modern mengacu kepada “Romantisme, tetapi dalam seni lukis sudah mengacu kepada Ekspresionisme. Dan dalam teater masih berkutat pada “realisme Dardanella”. Seni arsitektur Art Deco.
Seni Modern di Indonesia tidak berakar dari kebudayaanya, tetapi berakar pada zaman-zaman tertentu faham seni Barat. Faham-faham seni Barat itu pun tidak sama untuk setiap cabang seni. Di Barat, pengertian seni untuk setiap cabang seni pada suatu zaman, kurang lebih sama, karena memang berdasarkan pada perubahan cara berfikir masyarakatnya.
Sebaliknya, masyarakat pra-modern di Indonesia (di luar kota-kota besar) tidak mengenal istilah “seni”. Setiap bahasa suku di Indonesia memilik padanan kata untuk “seni” dalam bahasa jawa, padananya adalah kagunan. Untuk itu ada istilah Kagunan wayang, kagunan kayu (bangunan), kagunan batik, kagunan urik, dsb. Tapi juga ada kagunan maling (maling guna), itu orang yang mempunyai “seni” maling.
Nilai guna “seni” pra-modern Indonesia juga terdapat dalam pakaian, seperti kain batik selendang, sarung, ikat kepala. Pada bangunan rumah, seperti ragam hias pada dinding, atap, pintu, peringgitan, tiang rumah. Nilai guna Puisi adalah dinyanyikan pada waktu upacara, yang biasanya diiringi bunyi musiknya. Nilai guna tari juga waktu upacara adat, seperti halnya lakon.
Pada zaman pra-modern “Seni” diciptakan bukan demi seni itu sendiri. Seni diabadikan untuk religi dan kebutuhan praktis. Gejala semacam ini juga masih nampak di Barat, yakni pada zaman pra-modern mereka. Lukisan dan patung dibuat untuk bangunan gereja atau kuil. Arsitektur gereja, dan kuil ada aturannya yang sesuai dengan simbol-simbol agama, seperti halnya rumah-rumah adat di Indonesia. Dalam budaya primordial Indonesia, tidak ada bangunan ibadah umum seperti di Barat. Bangunan mesjid, candi, gereja dikenal masyarakat Indonesia setelah memeluk agama-agama dari luar Indonesia. Rumah adat adalah rumah tinggal sekaligus tempat ibadah keluarga.
Setelah zaman Modern, seni dipisahkan dari kehidupan praktis. Seni diciptakan untuk seni itu sendiri, yakni mengejar bentuk keindahan spritual. Orang melukis atau membuat patung demi lukisan, dan patung itu sendiri. Untuk apa? Ya, dinikmati dalam perenungan. Untuk mencapai kondisi, dan pengalaman spiritualitas yang tidak harus bersifat keagamaan. Digantung di dinding ruang tamu, ruang pribadi, ruang pertemuan, ruang pameran, di bagunan ibadat.
Kalo diatakan bahwa bentuk mengikuti fungsi, maka “seni” harus dikembalikan pada konteks budaya masyarakatnya. Fungsi seni pra-modern Indonesia adalah demi religi dalam kehidupan sehari-hari. Seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari sedangkan fungsi “seni” modern adalah demi seni saja / seni untuk seni itu sendiri. Lepas dari kehidupan sehari-hari. Prinsipnya pemisahan. Pada seni pra-modern prinsipnya penyatuan dalam praksis kehidupan.
Hubungan “kecil”, “halus”, “lembut”, “tips”, dengan art? Art itu lebih dekat dengan kualitas halus, dan lembut yang berlawanan dengan kasar. Dalam pengertian modern maupun pra-modern, sebuah karya (ciptaan) yang kita sebut dengan “seni” itu berkaitan dengan spiritualitas. Bedanya pada seni pra-modern spiritualitas kepercayaan, sedangkan pada seni modern spiritualitas rasional.
Spiritualitas adalah sesuatu yang berhubungan dengan keseluruhan yang lebih luas lebih dalam, dan lebih kaya yang meletakan situasi terbatas kita saat ini dalam perspektif baru. Dengan demikian spiritualitas berhubungan dengan sesuatu yang transenden. Sesuat yang transenden adalah yang melampaui, menembus, mengatasi semua apa yang telah kita alami, dan ketahui dalam hidup ini. Jadi, Spiritualitas adalah “yang di luar sana”, “yang berbeda” bukan ini dan bukan itu”. Spiritualias itu tidak terbatas, dengan demikian “tidak ada” dalam pengalaman, dan pengetahuan kita, tapi justru “ada” yang sejati dalam logika, serta pengalaman.
Spiritualias itu “halus dan lebut”, tidak lekas terasa dan teraba bagi yang kurang peka. Seni itu tidak hadir bagi mereka yang tumpul. Bagi yang terlatih dalam kehalusan dan kelembutan perasaan, pengalaman, pengetahuan, pemikiran, “seni” baru hadir, baik bagi kaum pra-modern maupun yang modern.
Tradisi pemahaman seni-pra modern berbeda dalam kebudayaan mitis-spiritual-keagamaan. Kebudayaan ini berpikir Kosmosentris. Kebudayaan modern lebih Antroposentris.
Komosentris menempatkan manusia sebagai bagian, dan sama dengan alam semesta. Mikrokosmos manusia adalah makrokosmos semesta. Meleburnya mikrokosmos dengan makrokosmos membawa manusia mencapai Sang Pencipta.
Pandangan antroposentris menempatkan manusia sebagai pusat realitas. Ada jarak antara manusia dengan Semesta dan Pencipta. Dengan demikian, realitas itu tergantung dalam masing-masing manusianya, yakni realitas kesadaran kolektifnya.
Sementara diwilayah pedesaan, “Seni” mesih merupakan ekspresi kolektif lewat seorang seniman. Ada ungkapan kuno yang dikutip Calire Holt dalam bukunya “menarilah, maka saya akan tahu dari mana asalmu” Ukuran-ukuran seni modern, tidak dapat dipakai begitu saja pada karya-karya “seni” pra-modern etnik di Indonesia. Semacam pendekatan hermeneutik perlu dilakukan, yang menempatkan karya-karya itu dalam cara berpikir budayanya.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteSegera daftarkan diri anda dan bermainlah di Agen Poker, Domino, Ceme dan capsa Susun Nomor Satu di Indonesia AGENPOKER(COM)
ReplyDeleteJadilah jutawan hanya dengan modal 10.000 rupiah sekarang juga !