Artikelsenibudaya.blogspot.com - Konsep tritangtu pada budaya Sunda berasal dari kosmologi Baduy dan Jatiraga Galuh. Sebagai masyarakat peladang mereka memandang tiga dunia penting dalam kehidupan ini, yakni langit pemberi hujan, tanah yang menumbuhkan tanaman, dan manusia yang memungkinkan hal itu dengan cara mengawinkan langit dan bumi. Inilah sebabnya dikenal tiga buana atau dunia, yakni Buana Nyuncung (atas), Buana Pancatengah (tengah, manusia), dan Buana Larang (bumi). Simbolnya adalah air (atas), tanah (bawah), dan batu (tengah).
Sistem hubungan tiga dalam budaya Sunda bersumber dari hubungan langit, bumi, dan manusia. Ini berarti hubungan air, tanah dan batu. Hubungan Resi (air), Ratu (batu), tanah (rakyat). Hubungan perempuan (langit, air), lelaki (bumi, kering), dan perempuan-laki-laki (manusia). Hubungan pasif (perempuan), aktif (laki-laki), pasif-aktif (perempuan-laki-laki), dan seterusnya.
Konsep Tritangtu pada Budaya Sunda
Bagi masyarakat Sunda, menghidupkan atau memelihara sesuatu lebih penting dari pada merampas atau mematikannya. Konsep tersebut terwujud dalam kosmologi budaya Sunda mengenai perkawinan dualitas bertentangan sehingga terciptanya suatu kehidupan yang baru. Misalnya perkawinan antara langit dan bumi, lalu tercipta kehidupan yang baru. Seperti hujan diturunkan langit ke bumi yang membasahi ladang. Bagi masyarakat Sunda, pemisahan antara dualisme antagonistik merupakan hal yang dihindari karena mampu menciptakan malapetaka. Seperti tidak bisa dipisahkannya langit dan bumi, jika dipisahkan maka tidak akan ada kehidupan manusia. Syarat kehidupan adalah terciptanya harmoni paradoks, pertemuan antara sesuatu yang berlainan dan menciptakan sesuatu yang baru. Jika ditinjau dari hal tersebut, maka kehendak, pikiran, dan tindakan diterjemahkan dalam tekad, dan ucap disatukan dalam laku. Masyarakat Sunda umumnya mengenal dengan istilah Tekad, Ucap, Lampah.
Konsep tritangtu dalam budaya Sunda mempengaruhi perkembangan masyarakat Sunda itu sendiri. Yakni berupa tiga unsur dengan pola-pola tiga, seperti persatuan wilayah atas dan bawah menghasilkan wilayah tengah. Wilayah atas tetap berada di atas, dan wilayah tengah sejajar dengan wilayah bawah. Pada intinya berawal dari kekosongan yang menghasilkan kehendak, kuasa, dan pikiran atau penyebab yang terwujud pada Sanghyang Tunggal atau Batara Tunggal. Berarti penyatuan kedua unsur wilayah menghasilkan satu wilayah atau satu unsur ketiga dan semuanya melebur menjadi satu.
Pola tritangtu tersebut berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Sunda. Misalnya pada alat musik, alat rumah tangga, senjata, rumah, dan tata letak suatu Negara. Pada alat rumah tangga seperti boboko atau tempat nasi misalnya, terdapat tiga unsur pola. Yakni pola atas berbentuk lingkaran yang melambangkan dunia atas atau perempuan. Kemudian dunia tengah berbentuk segi delapan walau terlihat kurang jelas, berarti bisa melambangkan laki-laki atau perempuan, simbol perkawinan dualitas.
Dan dunia bawah yang berbetuk persegi empat, melambangkan laki-laki. Pada senjata Kujang pun demikian adanya, terdapat bagian depan atau ujung mata pisau sebagai penusuk, melambangkan laki-laki, bagian tengah berupa badan yang melambangkan perkawinan dualitas, dan bagian bawah atau belakang berupa lengkungan yang melambangkan perempuan. Sama halnya dalam tata letak suatu negara oleh masyarakat Sunda.
Terdapat tiga wilayah yang menyimbolkan sebagai yang berkehendak, yang mempunyai kekuatan atau kuasa, dan pikiran atau sebagai penyebab. Dalam contoh lainnya yakni yang memiliki, pelaksana, dan yang menjaga suatu tatanan wilayah atau negara.
Bagi masyarakat Baduy, pada awalnya hanya ada kosong yang disebut awang uwung-uwungan.
Dari kosong itu muncul air yang semakin lama semakin mengental setipis sayap nyamuk, kemudian membesar dan mengeras sebesar buah cariu ading. Benda ini semakin membesar dan membesar sehingga menjadi bumi ini. Dari kosong itu tersebutlah Maha Keresa dan Maha Kawasa yang berarti kehendak dan kuasa, menciptakan bentuk manusia di alam gaib. Bentuk manusia ini sombong dan berkata, “Betapa kuasanya aku dapat berwujud seperti ini”.
Tiba-tiba muncul cahaya seperti kilat disertai ucapan “Adakah engkau menjadikan dirimu sendiri? Lihat cahaya ini yang sudah ada sebelum kamu”. Bentuk manusia pertama ini malu dan menangis sambil mencukil-cukil bumi yang serpihan-serpihannya tersebar menjadi 33 pulau. Dia disebut Batara Kaisinan atau Adam Malu. Badan halus Adam Malu masuk ke dalam bumi dan menjadi Batara Nagaraja.
Sedang badan kasarnya menjadi gunung Kendeng. Setelah kegagalan penciptaan pertama, lalu diciptakan bentuk manusia kedua yang disebut Adam Keresa atau Batara Keresa, ia berkata “Sungguh sakti yang menjadikan diriku seperti ini”. Maka diciptakan oleh Maha Keresa dan Kawasa bentuk manusia lain yang disebut Batara Bima Karana yang kelak akan menurunkan para nabi. Yang terakhir wujud berupa kilat dalam penciptaan Batara Malu menjadi Batara Maha Kawasa atau Adam Kawasa.
Tiga wujud gaib manusia tadi, yakni Adam Keresa, Adam Bima Karana, dan Adam Kawasa menyatu dalam diri Batara Tunggal atau Adam Tunggal. Batara Tunggal kemudian menciptakan 7 Batara yang kelak mendiami 7 daerah sekitar Baduy. Batara keenam yakni Batara Patanjala mendiami kampong Baduy. Sedangkan Batara ketujuh yakni Batara Mahadewa kelak akan menurunkan raja-raja Sunda. Hingga tersebutlah Batara Tunggal yang terdiri dari Batara Keresa, Batara Kawasa, dan Batara Bima Karana, yang disebut juga sebagai Sang Rama atau Prabu Ayah.
Batara Keresa berarti Kehendak, Batara Kawasa adalah Kuasa atau Kekuatan, dan Batara Bima Karana adalah Penyebab atau Pikiran. Semua itu merupakan wujud jati diri dari manusia itu sendiri.
Salah satu puncak kosmologi budaya Sunda terletak pada mitologi kerajaan Galuh di Sunda, berupa pola pikir kesatuan dari tiga hal di atas. Pada kitab Jatiraga, menurut kosmologi ini, terdapat tiga alam, yakni alam Sakala yang terikat oleh ruang dan waktu berupa alam manusia, alam Niskala yang tidak terikat oleh ruang dan waktu berupa alam para dewa, dan alam Jatiniskala berupa kosong atau Awang-awang Uwung-uwungan. Kosong tersebut dihuni oleh Ijunajati Nistemen.
Semua yang ada di alam Niskala adalah pengejawantahan atau manifestasi dari Ijunajati Nistemen yang sebenarnya kosong itu. Namun dewa-dewa dan dewi-dewi di alam Niskala itu sendiri adalah Ijunajati Nistemen. Kosong yang sebenarnya isi yang sejatinya ada di dalam Ijunajati Nistemen. Ia berada di alam jatiniskala, alam di luar konsep ruang dan waktu manusia, di luar penghayatan dan pikiran manusia.
Demikian artikel seni budaya yang berjudul Konsep Tritangtu pada Budaya Sunda, silahkan simak artikel seni budaya lainnya.