Identifikasi Pangeran Astapati
ArtikelSeniBudaya.blogspot.com - Identifikasi Pangeran Astapati - Menurut tradisi, Pangeran Astapati adalah salah satu panglima perang Banten pada masa pemerintahan sultan Banten ke-6, berasal dari Baduy. Untuk menelusuri identifikasi tokoh Pangeran Astapati ini, maka akan dikaji hubungan-hubungan antara (1) Baduy dengan Banten, dan (2) Pangeran Astapati dengan Banten dan Baduy. Kajian tentu didasarkan pada :
1. sejarah tutur (oral history), dan
2. pendekatan sumber tulisan (written evident approach) baik dari produk sastra (serat, kidung, wawacan dan lain-lain) maupun "ceritera" sejarah yang pernah ditulis.
Penduduk Baduy yang berbahasa Sunda ini, menamakan dirinya sebagai orang Kanekes, sedangkan istilah Baduy adalah sebutan orang luar yang justru tidak disenangi oleh orang Kanikes itu sendiri. Nama Kanekes berasal dari nama Sungai Cikanekes yang mengalir di daerah itu. Selain itu nama orang Kanekes biasa pula menamakan dirinya orang Rawayan. Nama ini berasal dari nama sebuah Sungai Cirawayan, dekat kampung Cikeusik di daerah Baduy Dalam (Nurhadi Rangkuti, 1987: 21-22).
Mengenai hubungan Baduy dengan Banten, dapat ditelusuri dari berbagai sumber naskah kuno seperti: Cariosan Prabu Silihwangi, serta sejarah tutur (oral history) atau yang kemudian dikembangkan sebagai life histories approach (Yudistira Garna, 1991: 73-74).
Banyak orang beranggapan bahwa orang Baduy adalah keturunan orang pelarian dari Pajajaran ketika kerajaan itu jatuh ke tangan pe-nguasa-penguasa/kerajaan pantai yang beragama Islam, kemudian orang-orang yang lari itu tidak mau masuk/beralih ke agama Islam.
Menurut kajian N.J.C. Geise (1991; 70), berdasarkan Cariosan Prabu Silihwangi (CPS), dinyatakan bahwa Prabu Silihwangi mengadakan hubungan persekutuan dengan tujuh raja, yaitu Raja Ponggang, Singapura, Sumedang, Kawali, Panjalu, Pekalongan dan Blambangan (N.J.C. Geise, 1952: 204). Nama Sultan Banten tidaklah disebut.
Berdasarkan rekaman tutur Jaro Sarpin yang pada waktu wawancara dilakukan berfungsi sebagai Jaro Gupernemen (penghubung antara masyarakat Baduy dengan Gupernemen mana saja), dapat diamati me-ngenai pandangan orang Baduy sendiri mengenai diri mereka sendiri (inward looking), seperti berikut ini:
"Bulan Kawalu, Bulan Karuhun, wangatua urang, paradalam Prabu Siliwangi asup jadi urang Pakuan, nya eta maung. Dipenta ku Jaro kaselametan. Bisa ngarekakeun jelema, manehna ngarupakeun jelema ngajagi, ngaraksa umat-umat Jaro, lamun puasa, titipan urang Pakuan, geus ku Jaro pantangan sagala rupa geh, sabab dipenta-penta kasalametan tina karuhun tea. Diurus dina bulan Kawalu, di tanggal delapan belas. Hayang cunduk cimarang aturan, cimereng micara, anak umat-umat, anak putu-putu sakbeh, anak putu Kanjeng Nabi Muhammad sakabeh, bangsa Cina, Blanda, supaya jajakertana, jauh belahina, salamet dirina, jajaperangna, parek rejekina" (Geise, 1991: 70-71).
dari self-identification tersebut, nampak jelas bahwa dalam sikap kandang orang Baduy hanya terdapat dua tatanan masyarakat, yakni: Baduy dan non Baduy. Pengetahuan mereka mengenai struktur/tatanan non-Baduy amat terbatas, seperti yang mereka katakan:
"Pulau Banten jeung negara telung puluh, salawe pancanegara, sakolong langit, satangkarak lemah"
yang semuanya itu:
"Tangtu Tilu anu ngurusan, Jaro dangka anu napaan."
selain itu, betapa lugas sikap mereka:
"Jelema Kanekes tara takluk ka Gupernemen."
Dari rekaman sikap-sikap orang Baduy tersebut di atas, tampak bahwa Prabu Silihwangi beserta rakyat dan tatanannya bukan merupakan acuan dari masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy memiliki hubungan yang jauh lebih dekat terhadap Ratu Banten seperti yang dituturkan oleh Ki Jalceu pada sekitar tahun 1982, yang menyatakan sikapnya sehubungan dengan hilangnya satu benda pusaka mereka.
Ia menyatakan:
"Ayeuna teh usum halodo panjang, naha winduan atawa seuseulan ? Ceuk kami mah seuseulan, sebab Sangiang Pakombaan, nyaeta tutunggangan Ratu, nu kudu dijaga ku katurunan Puun, leungit. Sangiang Pakombaan teh kapan tutunggangan atawa titipan Ratu Banten, ratu urang sarerea
Tapi bukan berarti Baduy di bawah Banten, sedangkan hubungannya dengan Siliwangi, dikatakan Ki Jalceu sebagai berikut:
"Siliwangi di kami euweuh tuturunananan. Da turunan Siliwangi mah aya di Bogor. Jang kami urang Baduy, ngasuh ratu ngayak menak. Menak mah nyaeta anu ulung-ulung, anu ngaraksa nagara. Di kami mah euweuh menak. Namun para Dalem mah aya." (Yudistira Garna, 1991: 76-77).
Dari uraian terakhir, nampak inward-looking orang Baduy pada dasarnya :
1. Orang Baduy atau orang Kenakes atau orang Gejeboh atau orang Kaduketug, memiliki hakekat pengetahuan tentang dunia luar, yang yang berkaitan dengan pembagian tugas bagi orang Baduy sebagai keturunan Karuhun untuk memelihara kelestarian kehidupan termasuk "mengayomi" Ratu Banten.
2. Namun demikian Ratu Banten bukan penguasa Baduy, dan raja-raja Silihwangi bukan karuhun orang Banten.
Selain itu, ada pula ceritera-ceritera yang terutama diketahui oleh tokoh-tokoh masyarakat Baduy tentang riwayat Ratu Banten, yang bersama pengiringnya meninggalkan Banten, memudiki Ciujung dan akhirnya sampai di daerah sekitar mata air Ciujung di Pegunungan Kendeng, selenjutnya menetap disana. Mereka itulah nenek moyang orang Baduy. Di desa Kanekes terdapat sebuah kampung yang penduduknya beragama Islam, yaitu di kampung Cikakal Girang (Kodrat Subagio, 1976).
Pangeran Astapati dipercayai sebagai salah seorang pemimpin perang Sultan Banten ke-6 yang berasal dari Baduy. Menurut tradisi lisan, sesuai yang dituturkan oleh para keturunan Pangeran Astapati dan juga juru kunci makam Pangeran Astapati di Odel. Disebutkan dalam tradisi sejarah tutur tersebut, bermula dari Sanghyang Tunggal adalah Ratu Sunda/Parahyangan, yang berputera: (1) Batara Cikal (yang meninggal semasa berusia muda), dan (2) Batara Patanjala (yang memerintah di Baduy, sedangkan putera ke-3, 4, 5 yang namanya tidak disebutkan, diperintahkan untuk memerintah di "salawe (25) nagara", termasuk di daerah Sunda, Priangan dan pulau-pulau kecil di sekitar Sunda/Priangan.
Dalam ingatan para pewaris Pangeran Astapati itu, disebut-sebut pula mengenai Banten merupakan pusat, sesuatu negara besar yang penuh dengan keramat. Batara Patanjala berputra antara lain Batara Bungsu yang ditugaskan melanjutkan pemerintahan di Baduy. Selanjutnya, salah seorang putera Batara Bungsu, yakni Ksatria Ki Dukun Putil yang juga berpangkat sebagai "Girang Pu'un" berkedudukan di Cikatarwana, merupakan putra yang diserahi untuk mengurus pengaturan, kemakmuran, keadilan dan keamanan "negara' Baduy.
Dukun Putil ini juga mempunyai beberapa anak, yang salah satu di antaranya tidak merasa puas terhadap tradisi hidup di Baduy, jiwanya menolak adat istiadat serta kebiasaan di Baduy, yakni putra yang bernama Raden Wirasuta.
Pada saat yang sama, Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa - 'Abulfath 'Abdul Fattah, Sultan Banten ke-6, ayah dari Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar atau Sultan Haji, yang kemudian menjadi sultan banten yang ke-7.
Beranjak dewasa Raden Wirasuta datang ke Keraton Surosowan, diterima sebagai bujang yang bertugas mencuci, di dapur, membersihkan pekarangan dan mengurus kuda. Dengan pekerjaannya itu, Raden Wirasuta menjadi salah seorang pembantu kepercayaan Sultan, sehingga ia diangkat menjadi prajurit, lantas dinikahkan dengan salah seorang puteri Sultan (Ratu Dahlia), diangkat menjadi menteri negara merangkap sebagai panglima perang.
Dalam naskah Sajarah Banten Rante-rante, pupuh LXIII, antara lain disebutkan pula bahwa Pangeran Wirasuta (Raden Wirasuta), merupakan salah seorang Panglima yang dipercayai Sultan untuk menghadapi serangan armada kapal perang Belanda dari arah teluk Banten. Untuk sejumlah meriam dipersiapkan untuk menembaki kapal dari arah kota Surosowan. Meriam-meriam itu diatur dan dipercayakan kepada beberapa panglima, yaitu meriam-meriam: Jaka Tua kepada Pangeran Papatih, Jaka Pekik kepada Pangeran Kidul, Kalantaka kepada Pangeran Wetan, Muntab kepada Tubagus Suradinata, Urangayu kepada Pangeran Wirasuta . . . (Husein Djajadiningrat, 1983: 76).
Pada waktu meng-Islam-kan Sriwijaya, dan setelah beres kembali ke Banten, di tengah laut selepas Lampung, Pangeran Wirasuta diserang secara pengecut (di-dodoho atau dibokong) oleh Ratu Dorah Putih, yang mengakibatkan luka parah (putus?) lengannya.
Tak lama setelah tiba di Surosowan Pangeran Wirasuta wafat, dimakamkan di Kasemen, dengan gelar Pangeran Astapati. Keramat makam/pesareannya kemudian hari menjadi makam keluarga keturunan para bangsawan Lebak Parahyang, dan tumbuhnya Amanat Karuhun yang berbunyi:
"Turunan atawa teureuk menak Lebak Parahyang teu menang nikah ka urang Palembang eujeung Lampung."
Pada dasarnya amanat karuhun tersebut memantangkan/melarang keturunan Menak Lebak Parahyang untuk menikah/kawin dengan orang Palembang atau Lampung.
Pangeran Astapati atau Raden Wirasuta Akmaldiningrat mempunyai anak:
1. Ki Ngabehi bahu Pringga (Patih Darus)
2. Ki Anab
3. Nyai Dariah
4. Kiai Gantang
5. Nyai Andil
(pada keadaan sekarang, makam-makam anak ke-1, 2, 3 itu berjajar, sedangkan Kiai Gantang di bawah pohon santigi, dan Nyai Andil di dekat Urut Situ di Pasir Waluh, Lebak).
Ki Ngabehi Bahu Pringga (Patih Darus) menurunkan putera-putera ada yang menjadi ulama ksatria, santana (menak) dan petani. Yang menjadi kesatria/menak antara lain K.H. Kimaslia yang kemudian menjadi ulama sekaligus menak yang memegang kuasa atas daerah kabupaten Pandeglang dan bergelar R.T.A.A. Natadiningrat, yang juga dikenal sebagai Dalem Tjekek, setelah wafat dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Natadiningrat mempunyai 26 orang anak laki-laki dan perempuan (dari lain-lain istri), di antaranya ada yang melanjutkan tradisi keratuan, yaitu:
1. Raden Murawan Sutadiningrat
2. Raden Bagus Djajadiningrat
Sutadiningrat mempunyai anak antara lain (1) Raden Tjakra-diningrat, dan (2) Raden Tanu Sura Adiningrat (melanjutkan memerintah Tjaringin (Menes) dan Pandeglang, dan dimakamkan di Pasarean Masjid Pandeglang. Sementara itu Tjakradiningrat ditunjuk menjabat di daerah Peucang, kemudian menjadi Wedana di Cilegon, sampai akhirnya tewas menjadi korban dalam pemberontakan Cilegon pada tahun 1888. Tjakradiningrat kawin antara lain dengan Nyi Raden Ajeng Encoh (Patih Bintang Rangkasbitung) berputera antara lain Nyi Mas Siti Asyah Amiruddin, Nong Tris dan lain-lainnya.
Perjalanan sejarah keturunan Pangeran Astapati, ternyata memang membentuk benang lurus, melahirkan/menurunkan atau pun menikah dengan para tokoh, pejabat dan cendikiawan. Penafsiran ini, tentu saja dicoba untuk dihilangkan subyektivitas kesejarahan, antara lain yang dapat dimunculkan akibat adanya aspek nasionalisme/nasionalitas.
Penokohan di sini, tak lain dikaitkan semata-mata terhadap prestasi puncak yang dapat dicapai oleh anggota "pohon keturunan" ini, yang banyak di antaranya didukung oleh dokumen-dokumen otentik-adminis-tratif.
Sementara itu, dari autobiografi P.A.A. Djajadiningrat (1936), dapat diurutkan asal muasal Pangeran Astapati beserta keturunannya, yang dikutip berikut ini.
"Batara Toenggal ada berpoetera enam orang laki-laki. jang soeloeng Batara Tjikal, wafat dengan tidak berpoetera. Sekarang ia memerintah doenia bersama-sama ayahnja. Poeteranja jang kedoea Batara Pantandjala, semata-mata memerintah bangsa Kanekes (Badoey) dan poeteranja yang bertiga lagi berkoeasa di Salawe Nagara (doea poeloeh lima negeri). Batara Patandjala berpoetera beberapa orang laki-laki, jang moeda sekali bernama Batara Boengsoe. Dari Batara Boengsoe inilah asalnja poe'oen-poe'oen Cibeo."
"Kira-kira pada waktoe Soeltan Ageng Tirtajasa memerintah di Banten, maka salah seorang Poe'oen Tjibeo itu ada beranak seorang laki-laki bernama Raden Wirasoeta. Ada poen Raden Wirasoeta ini tidak senang diam dalam masjarakat bangsa Badoej itoe, karena masjarakat itu terlaloe sempit terasa padanja. Oleh karena itoe dimintanjalah dengan sangat kepada Bapaknja, soepaja ia diberi idjin akan menghambakan diri kepada Soeltan Banten. Bapaknja tidak berkeberatan dan Raden Wirasoeta diberinja nasihat akan menghiliri Soengai djoeng: kelak akan sampai ke Keraton Bantam."
"Hanja dengan sebilah keris bernama "Kebo Gandar" sadja (jaitoe jang masih ada pada saja), toeroenlah Wirasoeta dari kampoengnja, berdjalan menghiliri Soengai Tjioedjoeng. Achirnja sampailah ke Tirtajasa, tempat Soeltan bersemajam pada waktoe itoe."
"Tidak lama antaranja ia poen diterima menjadi hamba di Keraton, moela-moela mendjadi hamba biasa (panakawan) tapi kemoedian mendjadi pradjoerit."
Dari autobiografi Djajadiningrat tersebut di atas, juga disebutkan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa kerapkali berperang. Di dalam peperangan itu, Wirasuta menampakkan kecakapannya, dan untuk itu kemudian ia diangkat menjadi pangeran dan dinikahkan dengan salah seorang anak dari Sultan Ageng Tirtayasa.
Djajadiningrat selanjutnya menulis bahwa pada akhirnya Pangeran Wirasuta diangkat menjadi Patih (Perdana Menteri). Kira-kira pada tahun 1663, ketika memadamkan pemberontakan di Lampung, ia terluka pada tangannya. Dikatakan bahwa luka yang diderita oleh Pangeran Wirasuta membawa maut. Karena itu setelah ia meninggal, diberi gelar Pangeran Astapati (asta = tangan, pati = mati).
- Pangeran Astapati dalam Sejarah
- Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati
Simak Artikel Seni Budaya lainnya klik disini Artikel Seni