Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati

Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati
ArtikelSeniBudaya.blogspot.com - Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati - Kehadiran sosok tokoh Pangeran Astapati dalam konteks sejarah kesultanan/daulah Islam Banten, berada pada bentang waktu masa sultan Banten ke-VI. Benteng waktu mana penuh dengan konflik serta intrik istana atau kalangan pucuk pemerintahan, yakni masa pemerintahan Sultan 'Abun Nasr 'Abdul Kahhar Sultan Haji yang memerintah dari tahun 1672 - 1687 (Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, 1990: 162).


Sultan Haji adalah anak kandung sulung Sultan Ageng Tirtayasa 'Abul Fath 'Abdul Fattah yang memerintah dari tahun 1651 - 1672. Dari keempat istrinya Sultan Ageng Tirtayasa mempunyai 27 anak (putera dan puteri), di mana sesuai dengan kebiasaan dalam tata pemerintahan, beliau mengangkat putra pertamanya menjadi "Putra Mahkota". Jabatan ini biasanya dikaitkan sebagai Mangkubumi Pembantu atau Mangkubumi Kedua dalam struktur pemerintahan (Husein Djajadiningrat, 1983: 208). Wewenang Putra Mahkota cukup besar, mengingat setiap keputusan kerajaan, merupakan hasil musyawarah antara Sultan, Mangkubumi dan Putra Mahkota. Karena itu pula maka lazim Putra Mahkota mempunyai pembantu-pembantu sendiri.

Pengangkatan Pangeran Gusti menjadi Putra Mahkota ini terjadi pada tanggal 16 Pebruari 11671 bertepatan dengan datangnya surat dari Syarif Mekkah yang isinya antara lain bahwa Pangeran Gusti berhak menyandang gelar Sultan Abun 'Nasr Abdul Kahhar, yang juga dikenal dengan nama Sultan Haji. Sultan Haji diberi wewenang mengatur seluruh urusan dalam negeri (internal affairs), sedangkan Sultan Ageng Tirtayasa berwenang mengatur seluruh urusan luar negeri (external affairs).

Kronologi serta dimensi situasional Banten pada waktu itu, mungkin dapat diurut dalam proposisi-proposisi sebagai berikut (Halwany Microb dan Mudjahid Chudari, 1990: 106-107).:
1.    Sultan Abulfath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa terkenal sebagai salah seorang sultan Banten yang amat anti Belanda, karena itu ia membangun istana kedua di front depan, yakni di desa Tirtayasa, desa terdekat untuk menyerang Belanda di front Tangerang dan Angke. Karena itu Sultan ini, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa;
2.    Keberadaan Sultan di Tirtayasa meninggalkan Surosowan sebagai pusat administrasi kesultanan Banten, dimanfaatkan oleh Kompeni Belanda untuk mengadu-domba dan memecah-belah elite kerajaan, yang justru memperhadapkan Sultan dan Pangeran Purbaya (putera kedua) di satu pihak dengan Sultan Haji beserta pengikutnya yang berbasis di Surosowan.
3.    Kompeni Belanda menghasut Sultan Haji (Putra Mahkota), ketika sekembalinya ia dari menunaikan ibadah haji ke Mekkah, mendapati keadaan di mana Pangeran Purbaya yang mempunyai sikap/watak jauh lebih baik dari pada kakaknya, akhirnya Sultan haji lebih percaya kepada Kompeni Belanda yang dianggapnya sebagai kawan sejati, daripada lingkungan keluarga dekat/istana yang ia anggap memusuhinya.
4.    Persahabatan antara Sultan Haji dan Kompeni Belanda sampai pada tahap yang menghabiskan kesabaran Sultan Ageng antara lain de-ngan tindakan-tindakannya:
a.    memasukkan satuan tentara Kompeni sebagai pasukan tambahan di Surosowan;
b.    mengirimkan utusan ke Batavia yang memberitahukan pada VOC bahwa yang berkuasa di Banten-Surosowan pada saat itu adalah dirinya (Sultan Haji) dan bukan lagi ayahnya (Sultan Ageng Tirtayasa);
c.    mengirimkan ucapan selamat kepada Speelman atas diangkatnya yang bersangkutan sebagai Gubernur Jendral VOC di Batavia, padahal Kompeni baru saja menghancurkan pasukan gerilya Banten di Cirebon sehingga Kompeni dapat menguasai Cirebon keseluruhannya.

Hal-hal tersebut semakin memperuncing keadaan dan terbelahnya kekuatan politik-militer pribumi Banten dalam berhadapan dengan Kompeni Belanda, yang hanya menunggu waktu yang tepat untuk menghancurkan Banten. Sikap politik Sultan Haji tersebut kemudian berbuntut dengan:
1.    Penyerbuan Sultan Ageng ke Surosowan yang berakibat dapat didukinya Surosowan,
2.    Sultan Haji kemudian meminta bantuan kepada VOC.
3.    Bantuan VOC terdiri dari pasukan-pasukan: (a) yang dipimpin Kapten Francois Tack dan pasukan Saint Martin menyerbu dari arah Teluk Banten, sedangkan (b) pasukan darat 1000 orang yang dipimpin Kapten Hartsinck dari Batavia menyerang Tangerang, sehingga Tirtayasa dapat diserang dari arah Banten mau pun Tangerang.

Peperangan yang memakan waktu panjang dan jatuhnya korban jiwa serta kerusakan di kedua belah pihak dalam jumlah yang amat besar, melalui siasat yang amat licik, akhirnya peperangan dapat dihentikan dengan dapat ditangkapnya serta dipenjarakannya Sultan ageng Tirtayasa pada tanggal 14 Maret 1683. Sebagaimana diketahui awal penyerbuan VOC adalah pada tanggal 6 Maret 1682, berarti lama peperangan ±1 tahun.

Dalam keadaan terbelah, maka tentu saja kedua belah pihak, yakni Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji (ayah dan anak) memiliki pasukan dan panglima perang yang andal. Menurut tradisi Pangeran Astapati diketahui sebagai panglima perang Sultan Banten yang ke- 6 adalah Sultan Abu'n Nasr Abdul Kahar gelar Sultan Haji.

Simak Artikel Seni Budaya lainnya klik disini Artikel Seni  Pangeran Astapati Dalam Sejarah