PANGERAN ASTAPATI DALAM SEJARAH

PANGERAN ASTAPATI DALAM SEJARAH
ArtikelSeniBudaya.blogspot.com - SEJARAH PANGERAN ASTAPATI - Dimensi ruang, waktu dan budaya masa lalu dalam dinamika dan perspektif sejarah, senantiasa memiliki kaitan erat dengan tokoh, manusia dan kemanusiaannya. Ini antara lain disebabkan bahwa dalam sejarah bidang apa pun, manusia tetap menjadi tema sentral kajian dan pengungkapan sejarah.


Manusia sebagai subyek sejarah, tentunya memiliki konsekuensi bahwa setiap kupasan tentangnya senantiasa pula memiliki subyektivitas, sekali pun upaya-upaya pengungkapannya diusakan untuk menjadi obyektivitas secara maksimal. Tokoh, manusia dengan kemanu- siaannya, antara lain dapat ditelaah dan dimengerti melalui peninggalan-peninggalan berupa benda, baik sebagai pembuktian langsung maupun tidak langsung. Subyektif sejarah itu muncul, sebagaimana diakui oleh Mr. A.K. Pringgodigdo:

 " . . . barangkali akan terlihat pula bahwa yang menulis adalah anak bangsa Indonesia dan barang kali terdapat pula dalam buku ini satu dua pemandangan atau kesimpulan dari penulis yang sangat bergandengan dengan haluannya sendiri, . . ." (1949: 13).

Subyektivitas sejarah itu muncul pula, sebagaimana diakui oleh Prof. Dr. Noegroho Soesanto:
" . . . Tetapi sebagian besar sumber sejarah berasal dari kesaksian manusia, karenannya tidak memiliki realitas obyektif, melainkan hanya merupakan simbol daripada hal-hal yang pernah nyata di masa lampau (1974:IV). Subyektivitas itu pulalah yang menyebabkan terjadinya perbedaan visi, misalnya, Belanda menyatakan Pangeran Diponegoro sebagai pemberontak, sebaliknya, para sejarawan dan rakyat Indonesia dengan kacamata nasionalnya menganggap Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan dan pejuang (1987:47).

Prof Dr. Haryati Soebadio mengingatkan dengan tegas, bahwa:
"Sejarah apa pun dan di kawasan mana pun di dunia ini penuh dengan peristiwa yang di satu sisi bisa menimbulkan aneka macam lagenda dan bahkan mitos, sedangkan di sisi lain bisa seketika terlupakan  karena memang selamanya pasang surut, masa keemasan di samping masa pergolakan dan bahkan kemusnahan." (1991 a: 69).

karena itu ia sekali lagi menggarisbawahi agar:
" . . . sejarawan perlu mawas diri, supaya ia tetap menjaga integritasnya sebagai peneliti ilmiah. Sejarawan sebagai ilmiawan tidak diharapkan memberi tafsiran yang melanggar etika ilmiyahnya. Ia mutlak harus mampu menghadapi sekalian peristiwa dan kejadian-kejadian di sekitarnya dengan sikap seobyektif mungkin dan serasional mungkin . . ." (1991 b: 7-8).

Namun demikian, kita tetap menyadari arti penting kajian sejarah be- serta peninggalan/warisan budaya masa lalu atau dikenal dewasa ini de-ngan istilah benda cagar budaya. Di dalam penjelasan Undang- Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Presiden Soeharto menegaskan bahwa :
"Benda cagar budaya mempunyai arti penting bagi kebudayaan bangsa, khususnya untuk memupuk rasa kebanggaan nasional serta memperkokoh jatidiri bangsa."

Maka sesungguhnya, makna sejarah diakui penting dan karenanya diperlukan. Memang diakui seringkali terjadi terdapat kesenjangan interpretatif antara sejarah sebagai peristiwa maupun sejarah sebagai kisah, atau dengan perkataan lain memang terdapat perbedaan nuansa antara sejarah yang benar-benar terjadi dan sejarah sebagaimana diceritakan. Tetapi yang penting, para sejarahwan dan masyarakat pemakai informasi kesejarahan, menyadari dan menghindari segala kemungkinan penyusunan sejarah yang sebaiknya, karena itu akan berarti sebagai penipuan sejarah.

Bagaimana pun, sejarah senantiasa memiliki perspektif masa depan, dan karena itu tidak ada alasan untuk bersikap pesimistik. Peryataan G.J. Reiner yang sungguh membesarkan hati :
" . . . it is better, therefore, far better, that he should confess, to himself and to his readers, the nature of his approach, display his bias . . ." (1961: 174)

Keterbukaan sikap tersebut jelas amat diperlukan, mengingat bahwa:
"Reality is not 'rational' or 'realistic' in the sense that everything which exists or happens is logical or necessary or explicable, most of it is surprising, fantastic and improbable . . ." (Marc Bloch, 1954).

Dalam kajian ilmu sejarah sedikitnya terdapat dua teori kebenaran yang pada umumnya memiliki relevansi terhadap pengujian kebenaran fakta sejarah, yakni apa yang biasa disebut dengan teori kebenaran korespondensi (correspondance theory of truth) dan teori kebenaran kohe-rensi (coherence theory of truth) (WH Walsh, 1970: 74-75).

Walsh menyatakan bahwa teori korespondensi mengacu pada: se-suatu itu (pernyataan) benar apabila sama (correspond) dengan realitasnya (yakni apa yang benar-benar telah terjadi). Sementara itu teori koherensi menyatakan bahwa sesuatu itu (suatu pernyataan) benar apabila cocok (coherence) dengan pernyataan- peryataan lain yang pernah diucapkan/dinyatakan dan diterima kebenarannya.

Ilmu sejarah berusaha menerangkan masa lampau, keterangan se-jarah adalah keterangan sejarah jika hanya bertautan dan berkaitan kuat pada bukti-bukti sejarah. Bukti-bukti sejarah terdiri dari berbagai ragam, mulai dari segala jenis dokumen, arsip, peta kuno, silsilah, mata uang, prasasti, pada berbagai media (termasuk nisan), peralatan, pemukiman kuno, pelabuhan kuno, sisa-sisa pertahanan/perbentengan, sisa bangun-an, teknologi, natulasi, dan sebagainya.

Para sejarawan juga diminta perhatiannya terhadap berbagai sumber, seperti berita perjalanan, catatan harian, hikayat, tambo, legende dan sebagainya, karena sekali pun sebagian dari sumber-sumber itu meng-alami reduksi mau pun imbuhan, secara keseluruhan mengandung fakta sejarah  tentang sesuatu peristiwa, gejala, atau sesuatu hal. Transformasi data dan keutuhannya dipengaruhi oleh perjalanan waktu, perubahan persepsi serta proses pewarisannya.

Karena itulah dalam penyusunan dokumen historica ini, khususnya ketika pembahasan menyentuh para tokoh, akan dihindari sedapat mungkin berbagai penafsiran yang subyektif meski pun tidak mungkin 100 %. Salah satu misal, kehebatan sesuatu pertempuran akan diukur melalui jumlah pasukan yang terlibat, taktik dan strategi yang digunakan, teknologi peralatan, lama pertempuran, jumlah korban atau kerusakan dan sebagainya. Bukan pula dengan dramatisasi berlebihan mengarah pada retorika.

Mengenai kebenaran, dalam penulisan dokumenta historika sepenuhnya diserahkan kepada khalayak pembaca. Apabila sesuatu sumber berasal dari tradisi lisan, akan disebut tetap sebagai tradisi lisan, tetapi sebaliknya pula, apabila sesuatu sumber memang berasal/merupakan dokumen yang otentik, juga akan disebut sebagai dokumen otentik yang telah teruji kebenarannya. Kisah sejarah Pangeran Astapati mau pun  Raden Cakradiningrat pun tak lepas dari sikap dan disiplin serupa.

Kembali pada tujuan penulisan dokumenta historika ini, tak sekedar untuk mencoba membina ulang satu pohon genealogi, dan jauh dari segala prasangka dan dramatisasi peran atau kedudukan para tokoh yang kebetulan ada di dalamnya. Peranan para tokoh, jika pun ada, hanya akan disebutkan jabatan formal, misalnya residen, regent, wedana, asisten wedana, demang, kontrolir, polisi praja dan sebagainya.

Simak Artikel Seni Budaya lainnya klik disini Artikel Seni  

Kondisi Kontekstual Pangeran Astapati