MAEM MENDUT WORO LEGI Sugiyanti Ariani

MAEM MENDUT WORO LEGI Sugiyanti Ariani
ArtikelSeniBudaya.blogspot.com - Nilai historis kisah yang ada beribu tahun lalu serta keunikan seni tradisional Jawa selalu menarik untuk diangkat dalam sebuah pertunjukan. Kali ini Sugiyanti Aryani sangat peduli pada eksistensi budaya Indonesia, merampungkan sebuah pementasan yang terinspirasi dari “Babad Tanah Jawa”, sebuah manuskrip fiksi Jawa Kuno, berjudul “Maem Mendut Woro Legi” pada hari Kamis, 04 September 2014, di Tetaer Kebun STSI Bandung.


Pertunjukkan “Maem Mendut Woro Legi” ini terinspirasi dari indahnya kultur Jawa yang tidak hanya mencakup busana tradisional atau kain batik, tapi juga karakter kultural dan sosial masyarakat Jawa pada umumnya. Salah satu contohnya adalah musik khas Jawa yang memiliki nuansa formal dan sakral, dan memiliki koreografi yang bertujuan mendramatisir niat, watak, dan gerakan.
Di dalam kisah Maem Mendut Woro Legi, di samping mengandung nilai luhur yang harus diestafetkan pada anak muda  pewaris negeri ini, agar budaya dan nilai sejarah bangsa sebagai jati diri bangsa tidak hilang. Untuk itulah saya Sugiyanti Ariani mahasiswa Pascasarjana STSI Bandung  akhirnya menggagas pertunjukan tersebut.

‘Roro Mendut’ mengambil latar tahun 1600-an, yakni era pemerintahan Kerajaan Mataram dibawah kuasa Sultan Agung. Adapun produksi ‘Legenda Roro Mendut’ adalah sebuah produksi teater kontemporer yang ditulis berdasarkan cerita tersebut. Namun dalam hal ini, Sugi tidak berkutat pada hal yang biasanya dipakai oleh para seniman atau budayawan dalam mengupas legenda ini. Sugi memberikan sentuhan lain sehingga penonton dibawanya masuk kedalam dimensi yang lain dari cerita tersebut. Dalam pertunjukannya kali ini, Maem Mendut Woro Legi digambarkan dalam sosok yang metaphor. Meski pemain adalah semuanya laki-laki, akan tetapi actor membentuk dirinya menjadi manusia yang lepas dari legitimasi kelamin. Semata-mata pertunjukan teater ini diciptakan sebagai persenyawaan kesenian tradisional Jawa dalam bentuk yang unik.

Kisah ‘Roro Mendut’ menyorot kehidupan seorang gadis belia yang memiliki daya tarik luar biasa, tetapi harus tunduk kepada kuasa patriarkis dan politis. Ia bukan memperjuangkan negara atau kaumnya, tapi lebih esensial, memperjuangkan hidup dan hak asasinya sebagai manusia. Bahwa ia menggunakan daya tariknya untuk menyambung hidupnya mungkin menimbulkan pertanyaan bagaimanapun, ia hanyalah salah satu contoh dari penaklukan pria oleh wanita dan hal ini tidak disalahgunakannya. Penonton bukan hanya mendapati suasana cerita Roro Mendut, namun juga suasana metafora yang diciptakannya dibuat sangat renyah sehingga penotnon tidak dapat beranjak dari Teater Kebun.

Nilai kesenian dan historis sebuah budaya tidak mungkin bisa hilang: tinta di atas buku mungkin dapat memudar, tapi niat dan maksud tidak dapat lenyap. Ini mungkin saatnya kita membaca, mengikuti, dan menyimpan pesan sejarah supaya kita bisa terus menyampaikannya kepada cucu-cicit kita selanjutnya. Ini agar mereka memahami akar dan identitas mereka karena orang yang bijak tidak pernah akan menjadi seperti kacang yang lupa akan kulitnya.

Simak Artikel Seni Budaya lainnya klik disini Artikel Seni